Tuesday, June 10, 2008

Malas Mudah Sakit Jantung

GAYA hidup yang kurang aktif atau sedentari seringkali tidak menguntungan bagi kesehatan, bahkan kerap disebut sebagai pemicu timbulnya berbagai jenis penyakit.

Gaya hidup bermalas-malasan ini pun ternyata tidak hanya berpangaruh buruk terhadap para orang dewasa atau remaja. Namun anak-anak yang membiasakan dirinya kurang aktif pun menjadi lebih rentan terkena jenis penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup.

Seperti yang diungkapkan oleh hasil riset para ahli di Universitas North Caroline AS, Jumat (4/4) kemarin, anak yang bergaya hidup sedentari tercatat enam kali lebih besar memiliki kemungkinan mengidap penyakit jantung ketika menginjak dewasa ketimbang teman-temannya yang hidup aktif.

Bahkan menurut studi tersebut, kelompok gejala gangguan jantung yang disebut dengan istilah metabolic syndrome, dapat muncul pada awal-awal usia belasan tahun.

Tim peneliti dari Universitas North Carolina yang dipimpin Robert McMurray, melakukan riset dengan cara mengukur indikator penting kesehatan pada sekitar 400 anak-anak berusia 7 hingga 10 tahun, termasuk mencatat tinggi badan, massa tubuh, persentase lemak dalam tubuh, tekanan darah dan kadar kolesterol. Frekuensi dan durasi anak-anak dalam melakukan latihan-latihan fisik juga dipantau dan dicatat selama penelitian.

Tujuh tahun kemudian, anak-anak ini kemudian diteliti lagi ketika mereka beranjak dewasa untuk melihat sejauh mana mereka mengalami tanda-tanda sindroma metabolik. Berdasarkan kesimpulan peneliti yang mempublikasikan riset ini dalam British Journal Dynamic Medicine, hampir lima persen dari para anak ABG berusia 13 hingga 19 ini tercatat memiliki tiga atau lebih kondisi atau gejala utama.

Hasil ini juga sejalan dengan riset sebelumnya yang menunjukkan sekitar empat hingga sembilan persen remaja di Amerika Serikat memiliki kombinasi intoleransi glukosa, hipertensi, obesitas dan kekhawatiran kelebihan kolesterol.

Namun hingga saat ini, belum ada peneliti yang mencari hubungan antara aktivitas fisik di awal masa kanak-kanak dengan peluang mereka mengidap gejala penyakit jantung.

Menurut McMurray, anak-anak yang mengidap sindroma cenderung enam kali melakukan latihan kebugaran tingkat rendah dan lima kali cenderung melakukan aktivitas fisik tingkat rendah ketika studi ini dimulai.

Padahal yang terbaik, lanjutnya, anak-anak pada usia ini seharusnya melakukan sekitar 20 menit aktivitas jalan kaki, naik sepeda dengan kecepatan sedang atau melakukan aktivitas yang sama beratnya.

Pusat pengendalian dan pencegahan penyakit (CDC) Amerika Serikat yang berpusat di Atlanta merekomendasikan anak-anak untuk menyibukkan diri pada aktivitas dan latihan tingkat ini sekurangnya satu jam per hari.

"Ini menujukkan perlunya upaya untuk meningkatkan latihan fisik sejak masa kanak-kanak. Karena anak-anak sekarang hidup dengan sangat santai dan cenderung mudah terkena obesitas," tegas McMurray.

Bayi pun Bisa Jantungan

Penyakit yang menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia ini juga dapat dialami seorang bayi sekalipun. Penyakit jantung ini biasa disebut Penyakit Jantung Bawaan (PJB).

Jenis ini merupakan kelainan pada struktur atau fungsi sirkulasi jantung yang telah ada saat lahir. Kelainan ini terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal pertumbuhan janin.

Menurut Prof Dr Ganesja Mulia Harimurti SpJP (K) FIHA FASCC, spesialis jantung anak RS Harapan Kita, PJB adalah kelompok kelainan bawaan yang paling sering dijumpai, sekitar 30 persen dari seluruh kelainan bawaan yang ada dan paling sering menyebabkan kematian pada tahun pertama kehidupan. Dari 100 persen anak Indonesia yang mengidap PJB, hanya 5 persen yang diketahui mengidap penyakit tersebut.

PJB yang kompleks terutama ditemukan pada bayi dan anak-anak. Apabila tidak dioperasi, kebanyakan akan meninggal waktu bayi. Bila saat dewasa, penyakit ini baru diketahui, ini berarti pasien tersebut telah mampu melewati masa kritis atau telah mengalami tindakan operasi dini.

Penyebab terjadinya PJB belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka PJB. Yang pertama adalah faktor pranatal, antara lain sang ibu menderita penyakit rubella maternal, toksoplasmosis, influenza, fenilketonuria, diabetes, febrile illness dan epilepsi.

Kemudian penggunaan obat-obatan tertentu pada masa kehamilan juga dilaporkan menyebabkan PJB, seperti thalidomide, indomethacin, ibuprofen, sulfasalizin, trimethoprim sulfonamid dan antikonvulsan. Selain itu penggunaan marijuana, pelarut organik, paparan sinar X, asap rokok, cat tembok dan konsumsi alkohol berlebih dapat pula meningkatkan risiko PJB.

Yang kedua faktor genetik, yang dibawa dari ayah atau ibu yang pernah menderita jantung bawaan, kelainan kromosom seperrti sindroma down, secara genetik sudah berpotensi sakit tetapi tidak diketahui penyebabnya, dan lahir dengan kelainan bawaan yang lain.

"PJB bisa jadi muncul dengan keluhan maupun tidak. PJB yang diderita anak-anak biasanya dikenali dengan gejala-gejala seperti sesak napas, kesulitan minum susu, infeksi paru berulang, gagal tumbuh kembang dan gagal jantung," ujar Ganesja.

PJB yang tidak dikenali gejalanya, biasanya lebih berbahaya karena dapat menyebabkan kematian tiba-tiba atau tanpa terdeteksi terlebih dahulu. Untuk itu, orangtua hendaknya dapat mengetahui faktor risiko dan tanda-tandanya. Harapannya, si anak dapat diselamatkan lewat pengobatan maupun tindakan operasi. (KCM)/www.harian-global.com

No comments:

Post a Comment